4
CONTOH TEKS ULASAN SMP/MTS TERBARU
Sang
Pemimpi
Judul : Sang Pemimpi
Penulis : Andrea Hirata
Jenis Buku : Fiksi
Penerbit : Bentang
Cetakan I : Juli 2006
Tebal : X +292 halaman
Sang Pemimpi adalah novel
kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel ini
menceritakan kisah kehidupannya di Pulau Belitong yang dililit kemiskinan. Ada
tiga remaja SMA yang bermimpi untuk melanjutkan sekolah hingga ke Prancis dan
menjelajah Eropa hingga ke Afrika. Ikal, Arai, dan Jimbron adalah para pemimpi-pemimpi
itu.
Pada bab pertama
novel ini, Andrea menceritakan bahwa dirinya (dalam novel ini digambarkan
sebagai Ikal) dan kedua temannya, Arai dan Jimbron adalah tiga remaja yang
nakal. Mereka sangat dibenci oleh Pak Mustar, tokoh antagonis dalam novel ini.
Sebaliknya, hal berbeda diberikan oleh sang
Kepala Sekolah yang bernama Pak
Balia. Pak Balialah yang telah memberikan mimpi-mimpi kepada murid-muridnya,
terutama kepada Ikal, Arai dan Jimbron. “Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke
Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan
kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti
jejak-jejak Satre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang
belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban…”, itulah
kata-kata yang sering diucapkan Pak Balia.
Pada bab-bab
berikutnya pembaca akan melihat potongan-potongan kisah seperti berdiri
sendiri. Andrea hanya membuat cerpen-cerpen dalam satu novel. Meskipun
demikian, pada setiap bab, mulai awal hingga akhir, novel ini memiliki hubungan
yang sangat erat, seperti mozaik-mozaik dalam kehidupan.
Novel yang
disajikan dengan bahasa yang cantik ini mampu menyihir pembaca sehingga mereka
bisa ikut merasakan kebahagiaan, semangat keputusasaan, dan kesedihan. Selain
itu, novel ini memiliki lelucon-lelucon yang tidak biasa, cerdas, dan pasti
akan membuat pembaca tertawa. Dengan membaca novel ini, Anda akan mengetahui
bahwa Andrea Hirata memiliki pribadi yang cerdas dalam mengolah kata-kata dan
memiliki wawasan yang sangat luas.
Meskipun disebut
sebagai novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi, di novel ini nyaris
tidak ada hubungannya dengan buku Laskar Pelangi. Sang Pemimpi
hanya menyebutkan kata Laskar Pelangi hanya sekali. Keponakan yang Ikal
biayai saat di Jawa juga tidak disebut sama sekali dalam novel ini, padahal di
dalam novel sebelumnya telah diceritakan dengan jelas.
Dengan
mengesampingkan beberapa kekurangan tadi, novel ini benar-benar buku yang
sangat dibutuhkan oleh remaja negeri ini. Novel ini member motivasi, semangat,
dan mimpi pada anak-anak yang patah semangat untuk sekolah dan melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, buku ini
juga mengajarkan tentang
ketidakmungkinan yang bisa diwujudkan dengan kerja keras.
Laskar
Pelangi
Mereka
bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai dengan kelas
3 SMP. Pada bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu
anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada
tidak membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat
melakukan sesuatu yang lebih baik.
Cerita terjadi
di desa Gantung, Belitung Timur. Cerita dimulai ketika sekolah Muhammadiyah
terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jika tidak mencapai siswa baru
sejumlah sepuluh anak. Ketika itu, baru sembilan anak yang menghadiri upacara
pembukaan. Ketika Pak Harfan, sang
Kepala Sekolah, hendak berpidato
menutup sekolah, Harun dan ibunya dating untuk mendaftarkan diri di sekolah
kecil itu.
Dari sanalah
dimulai cerita mereka, yaitu mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan
mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa, yaitu A Kiong yang
malah cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus.
Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes
keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman
cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km
pulang pergi dari rumahnya ke sekolah mewarnai cerita itu.
Mereka, Laskar
Pelangi, nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap
pelangi sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara, misalnya,
pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena
kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17
Agustus dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs.
Zulfikar, guru sekolah kaya yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba
cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan,
tertawa, dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan
kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan
sangat mengharukan dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian, yakni
Ikal yang berjuang di luar Pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah
ini diringkas dengan kocak dan mengharukan oleh Andrea Hirata. Kita bahkan bisa
merasakan semangat masa kecil anggota Sepuluh Laskar Pelangi ini.
Novel ini sangat
bermanfaat bagi para remaja, khususnya siswa–siswi, karena pada cerita tersebut
dikisahkan perjuangan yang begitu berat yang dialami oleh tokoh–tokoh Laskar
Pelangi untuk bersekolah dan menuntut ilmu agar menjadi orang besar
nantinya.
Kelebihan novel
ini, antara lain, berisi motivasi bagi para pembacanya. Isinya begitu menarik
dan mengesankan, banyak amanat yang dapat diambil dari kisah tersebut.
Naskah Laskar
Pelangi telah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama dengan novelnya.
Film Laskar Pelangi diproduksi oleh Miles Films dan Mizan Production dan
digarap oleh sutradara Riri Riza. Anggota Laskar Pelangi mempunyai
karakter dan bakat yang berbeda-beda. Ikal adalah tokoh “aku” dalam cerita ini.
Ikal yang selalu menjadi peringkat kedua memiliki teman sebangku bernama
Lintang. Ia merupakan anak terpintar dalam Laskar Pelangi. Ia berminat
pada sastra. Hal itu terlihat dari
kesehariannya yang senang menulis
puisi. Ia menyukai A Ling, sepupu dari A Kiong, yang ditemuinya pertama kali di
sebuah toko kelontong bernama Toko Sinar Harapan. Pada akhirnya, hubungan
mereka berdua terpaksa berakhir oleh jarak akibat kepergian A Ling ke Jakarta
untuk menemani bibinya.
Lintang, teman
sebangku Ikal, adalah anak yang luar biasa jenius. Ayahnya bekerja sebagai
nelayan miskin yang tidak memiliki perahu dan harus menanggung kehidupan empat
belas jiwa anggota keluarga. Lintang telah menunjukkan minat besar untuk
bersekolah semenjak hari pertama berada
di sekolah. Ia selalu aktif di
dalam kelas dan memiliki cita-cita sebagai ahli matematika. Sekalipun ia luar
biasa pintar, pria kecil berambut merah ikal ini pernah salah membawa peralatan
sekolahnya. Cita-citanya terpaksa ditinggalkan agar ia dapat bekerja untuk
membiayai kebutuhan hidup keluarganya semenjak ayahnya meninggal.
Sahara adalah
satu-satunya gadis dalam anggota Laskar Pelangi. Sahara adalah gadis
keras kepala berpendirian kuat yang sangat patuh kepada agama. Ia adalah gadis
yang ramah dan pandai, ia baik kepada siapa saja kecuali pada A Kiong yang
semenjak mereka masuk sekolah sudah ia basahi dengan air
dalam termosnya.
Mahar, pria
tampan bertubuh kurus ini, memiliki bakat dan minat besar pada seni. Pertama
kali diketahui ketika tanpa sengaja Bu Muslimah menunjuknya untuk bernyanyi di
depan kelas pada saat pelajaran seni suara. Ketika dewasa, Mahar sempat
menganggur menunggu nasib menyapanya karena tak bias ke mana pun lantaran
ibunya yang sakit-sakitan. Akan tetapi, nasib baik menyapanya dan ia diajak
petinggi untuk membuat dokumentasi permainan anak tradisional setelah membaca
artikel yang ia tulis di sebuah majalah. Akhirnya, ia berhasil meluncurkan
sebuah novel tentang persahabatan.
A Kiong adalah
keturunan Tionghoa. Ia menjadi pengikut sejati Mahar sejak kelas satu. Baginya,
Mahar adalah suhunya yang agung. Kendatipun pria kecil ini berwajah buruk rupa,
ia memiliki rasa persahabatan yang tinggi dan baik hati, serta suka menolong
pada siapa pun kecuali Sahara. Namun, meski mereka selalu bertengkar, mereka
berdua saling mencintai satu sama lain.
Syahdan adalah
anak nelayan yang dalam ceria ini tak pernah menonjol. Kalau ada apa-apa, dia
pasti yang paling tidak diperhatikan. Ketika bermain sandiwara, Syahdan hanya
kedapatan jadi tukang kipas putri dan itu pun masih banyak kesalahannya.
Syahdan adalah saksi cinta pertama Ikal. Ia dan Ikal bertugas membeli kapur di
Toko Sinar Harapan semenjak Ikal jatuh cinta pada A Ling. Syahdan ternyata
memiliki cita-cita yang tidak pernah terbayang oleh Laskar Pelangi lainnya,
yaitu menjadi aktor. Dengan bekerja keras, pada akhirnya dia menjadi aktor
sungguhan, meskipun hanya mendapatkan peran kecil seperti tuyul atau jin.
Setelah bosan, ia pergi dan kursus komputer. Setelah itu, ia berhasil menjadi network
designer.
Kucai adalah
ketua kelas sepanjang generasi sekolah Laskar Pelangi. Ia menderita
rabun jauh karena kurang gizi dan penglihatannya melenceng 20 derajat sehingga
jika menatap marah ke arah Borek, akan terlihat ia sedang memperhatikan
Trapani. Laki-laki ini sejak kecil terlihat bisa menjadi politikus
dan akhirnya diwujudkan ketika ia
dewasa menjadi ketua fraksi di DPRD Belitong.
Borek adalah
pria besar maniak otot. Borek selalu menjaga citranya sebagai laki-laki maco.
Ketika dewasa, ia menjadi kuli di toko milik A Kiong dan Sahara. Trapani adalah
pria tampan yang pandai dan baik hati. Ia sangat mencintai ibunya. Apa pun yang
ia lakukan harus selalu didampingi ibunya, misalnya, ketika mereka akan tampil
sebagai band yang dikomando oleh Mahar. Ia tidak mau tampil jika tak ditonton
ibunya. Cowok yang bercita-cita menjadi guru ini akhirnya berakhir di rumah
sakit jiwa karena ketergantungannya terhadap ibunya.
Harun adalah
pria yang memiliki keterbelakangan mental. Ia memulai sekolah dasar ketika
berumur 15 tahun. Laki-laki jenaka ini senantiasa bercerita tentang kucingnya
yang berbelang tiga dan melahirkan tiga anak yang masing-masing berbelang tiga
pada tanggal tiga kepada Sahara. Ia senang sekali menanyakan kapan libur
lebaran pada Bu Muslimah. Ia menyetor 3 buah botol kecap ketika disuruh
mengumpulkan karya seni kelas enam.
Tokoh-tokoh lain
dalam Novel Laskar Pelangi adalah Bu Muslimah, bernama lengkap N.A.
Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid. Dia adalah Ibunda Guru bagi Laskar
Pelangi. Wanita lembut ini adalah pengajar pertama Laskar Pelangi dan
merupakan guru yang paling berharga bagi mereka.
Pak Harfan, nama
lengkap K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor adalah Kepala
Sekolah dari sekolah Muhammadiyah. Ia adalah orang yang sangat baik hati dan
penyabar meski murid-murid awalnya takut melihatnya.
Flo, bernama
asli Floriana, adalah seorang anak tomboi yang berasal dari keluarga kaya. Dia
merupakan murid pindahan dari sekolah yang kaya dan sekaligus tokoh terakhir
yang muncul sebagai bagian dari Laskar Pelangi. Awal pertama kali masuk
sekolah, ia sempat membuat kekacauan dengan mengambil alih tempat duduk Trapani
sehingga Trapani yang malang terpaksa tergusur. Ia melakukannya dengan alasan
ingin duduk di sebelah Mahar dan tak mau didebat.
A Ling adalah
cinta pertama Ikal yang merupakan saudara sepupu A Kiong. A Ling yang cantik
dan tegas ini terpaksa berpisah dengan Ikal karena harus menemani bibinya yang
tinggal sendiri.
Novel Laskar
Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, tidak hanya popular di Indonesia,
tetapi juga di luar Indonesia, hingga ke Amerika Serikat dan mendapatkan
penghargaan penerbit para pemenang nobel sastra. Hingga Desember 2012 ada 36
negara yang memopulerkan Novel Laskar Pelangi ini dan menjadi best
seller serta diterjemahkan ke dalam 18 bahasa.
Nasihat
untuk Anakku
Ketika engkau
sudah bisa membaca nasihat ini, anakku, tentu keadaan dunia sudah banyak
berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon
penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh orang Lampung, dan
di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat
telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau membaca nasihatku ini, anakku,
mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bus sampai tiga jam di Salemba, jalan
di mana ayahmu dulu pernah menanti bus sampai tiga jam lebih di hujan dan di
panas.
Waktu itu ayahmu
sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum
sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan
harga beras waktu itu dua puluh lima satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis
pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bus kedua
yang datang kemudian juga penuh
sesak sehingga orang-orang di dalam bus itu seperti ikan pepesan layaknya. Bus
ketiga datang, yang terlambat setengah jam dari semestinya, karena lalu lintas
terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang
anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk. Kemudian, lalu lintas yang terganggu
itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya
meratap-ratap di jalan raya. Karena ratapannya itu, bus-bus, becak-becak, yang
ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu.
Ayah memaafkan hal itu sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki
kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa
dirinya, tetapi menimpa kepala orang lain.
Tentu pada masa
engkau membaca nasihatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi,
bus-bus rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun ayah kira sudah tak ditarik
manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu naik becak atau
bus, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang emas dan
tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini,
anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasihat ini, adalah suatu hari yang
mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat merayakan ulang tahun
yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur
tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di
secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium
karangan yang berjumlah duaratus rupiah.
Biarpun nilai
sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasihat ini Cuma berharga beras
delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah
warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahun,”kata teman
Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang
ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal
jangan melebihi dua ratus rupiah,” kataku.
Teman Ayah
tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia pengarang juga, tetapi ia
benar-benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang
dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu engkau jangan heran jika Ayah
katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah
dan sudah biasa tidak makan satu
minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah
semua keluarganya membenci dia karena dia menjadi pengarang itu, karena
keluarganya memang orang-orang realis yang menganggap para pengarang adalah
pemburu-pemburu yang menembak rusa di satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini
tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu, ia merasa
tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira
dia adalah orang yang paling merdeka di dunia ini, biar pun kemerdekaan itu cuma
angan-angan saja. Tetapi waktu itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah
manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri
sendiri, suatu kepuasan duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih
melihat manusia sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula
dalam hati; karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia. “Kapan bukumu
terbit?” tanya temanku itu. Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu
manusia-manusia sezaman Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara
kaget dan sadar hanya seperdua ratus detik saja beda waktunya. “Bukuku? Bulan
Desember barangkali,” jawabku.
“Apa rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,”
jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sebenarnya orang
bisa menghitung waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?”
tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang
tahu berapa jam lagi hari malam.
Berapa jam lagi hari siang.
Lama-lama ia pun tahu berapa lama lagi ia akan bisa
mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera menuduhku
telah gila. Tetapi dia tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian. Sebuah
buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu
aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis. Apa saja bisa kutulis, dan aku
takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan itu. Aku bisa memaki
langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang
dari tingkat dan pangkat apa pun
juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa
jauh lebih merdeka daripada kau, biar pun kemerdekaan itu kumiliki untuk,
diriku sendiri saja,” kataku.
“Apa lagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku,
“masih perlu disambung. Dalam buku harian itu bisa juga kucatat hutang dan
piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur
perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah ikut menyumbang perekonomian
negaranya, biar pun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta,” kataku.
“Kau tentu bisa menjadi menteri
perekonomian,” katanya.
“Aku tentu bisa menjabat jabatan
itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian
semua orang. Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji untuk semua
orang di sini, dan sembilan puluh juta buku harian dan sembilan puluh juta
pensil atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biar pun ditawarkan, karena aku
merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk
tugas itu.” Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia
bertanya: “Apalagi yang akan kau beli?” “Kalau bisa masuk akal, akan kubeli
salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku. “Aku mau coba untung di
sana,” sambungku. Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung
menontoni ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia
ketawa seperti orang-orang yang betul ketawa. Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia
sebetulnya bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasihat ini, anakku,
banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan
malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang,
bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal itu amat
memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi: “Aku sudah malu
pada-Mu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar
dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi
Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat temanku itu ke
dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu meyedihkan, karena sudah
lazim terjadi yang demikian itu di zamanku. Sebenarnya nasihat ini, anakku,
belum tentu ada, jika temenku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri
adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi
penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau
dilontarkan kembali ke bumi dalam keadaan selamat, janganlah engkau malu.
Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu hal engkau melangar
seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri, anakku. Sekiranya
engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan
tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga hancur.
Ayahmu yakin,
pada waktu kau membaca nasihatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja,
anakku. Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku
ini. Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita pendek di
mana tertulis nama Ayahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat yang sama.
Aku mempunyai
banyak alasan melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa alasan yang bisa
kusebutkan. Seorang pengarang yang baik selalu berusaha mencari kebenaran. Ide
sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang
kebenaran dikalahkan oleh kenyataan, dan pada saat itulah para pengarang diuji.
Suatu kenyataan mungkin tidak benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib
atau digantung untuk suatu kebenaran.
kebenaran.
Ayahmu merasa
ganjil karena sebagai pengarang, cuma membutuhkan dua macam benda, yaitu sebuah
arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah
benda itu ayahmu dapat membuktikan kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu
sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan
untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah
penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil
lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa.
Tapi kalau kau punya uang kau bisa
membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu, apakah
isinya?”
“Macam-macam, di antaranya:
kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak bisa digadaikan, dan yang kau baca
ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua
puluh satu November, tepat pada hari ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
Anakku yang
tercinta. Kalau kuakhiri nasihatku-nasihatku ini, pada waktu ini engkau belum
ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul; bagaimana kalau
kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah,
anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai denga
kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang
benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.
Emak
dan Sepotong Roti
Siang itu begitu
terik. Pancaran sinar matahari tanpa ampun membakar punggung Emak yang tengah
mengumpulkan batu-batu kali dari sungai yang mengering. Tampaknya, kemarau
sudah kelewatan. Padahal, sekarang sudah memasuki bulan Desember. Bulan yang
disebut-sebut sebagai bulan hujan. Namun, hujan justru di
bulan ini tidak turun meski
setetes. Akibatnya, bisa dilihat sendiri. Hampir semua lahan persawahan
mengering, menyisakan pohon pari yang menguning kering; tidak ada rumput liar
yang tumbuh menghijau; hanya ada batang-batang pohon kering yang terus menerus
menggugurkan daunnya setiap kali angin berhembus. Hah… sepertinya
kemarau sudah makin menggila.
Lihatlah, satu-satunya sungai yang kami jadikan sumber air pun mengering,
seolah dihisap tanpa bekas, meninggalkan batu-batu terjal yang membisu.
Tentu saja ini
membuat keadaan desa kami makin terpuruk. Harus diakui, desa kami memang
termasuk desa miskin yang sering dilanda kekeringan saat musim kemarau. Namun,
desa kami belum pernah seterpuruk ini; sumber kehidupan kami mengering tanpa
sisa sehingga membuat para penduduk desa meninggalkan sungai
kerontang itu dan mencari sumber
air di tempat lain.
Kecuali Emak. Bisa dibilang Emak
adalah satu-satunya penduduk yang masih setia mendatangi sungai kerontang itu.
Bukan. Bukan untuk mengambil sisa-sisa air sungai kerontang itu yang pasti.
Seperti penduduk lain, Emak pergi ke gunung untuk mendapatkan air. Setiap hari
Emak datang ke sungai itu karena sebuah pekerjaan. Sejak memasuki kemarau tahun
lalu, Emak tidak lagi bekerja sebagai buruh tani, melainkan sebagai pengumpul
dan pemecah batu kali. Memang, pekerjaan ini tampak—dan memang—terlalu kasar
untuk seorang wanita seperti beliau. Namun,
setidaknya, bagi Emak dengan
pekerjaannya ini ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, menyekolahkan kedua
anaknya yang kini duduk di bangku kelas XII SMA dan kelas 1 sekolah dasar.
Namun, sepertinya
bukan awal kemarau tahun lalu bukanlah awal yang membuat Emak menjadi wanita
pekerja keras macam sekarang. Tepatnya, Emak menjadi tulang punggung keluarga
sejak meninggalnya bapak empat tahun lalu akibat epidemi yang melanda desa
kami. Ya benar. Sejak saat itulah Emak harus menjadi ibu sekaligus kepala rumah
tangga yang menafkahi kedua anaknya, Dani dan Dina.
Emak memulai
pekerjaannya sebagai buruh cuci. Namun, karena tetangga kami kurang membutuhkan
tenaganya, Emak berpindah menjadi buruh tani. Sayang, desa kecil kami sering
dilanda kekeringan berkepanjangan. Tidak banyak petani yang menggarap sawahnya
karena terlalu sering dirugikan oleh ulah kemarau yang angkuh.
Sebelumnya, Emak
juga pernah menjadi buruh pikul di pasar. Akan tetapi, tubuhnya yang kurus dan
ringkih membuatnya tidak bisa terlalu lama melakoni pekerjaan itu, belum lagi
upah yang tidak seberapa, tidak sebanding dengan tenaga dan keringat yang
beliau keluarkan. Tidak sebanding juga dengan sakit pinggang yang sering Emak
rasakan setiap malam.
Akhirnya, Emak
memutuskan untuk menjadi pengumpul dan pemecah batu kali. Emak mempunyai alasan
sendiri mengapa beliau memilih pekerjaan kasar itu. Bagi Emak, tidak selamanya
kemarau dan kekeringan yang sering melanda desa selalu membawa kerugian dan penderitaan.
Setidaknya, walaupun kemarau lebih sering meneteskan keringatnya daripada
meneteskan air dari langit, kemarau masih memberinya kehidupan. Bagi Emak
keringnya air sungai tidak berarti mengeringnya harapan untuk hidup seperti
yang selama ini dikeluhkan banyak penduduk. Justru dengan mengeringnya air
sungai, Emak mempunyai peluang dan harapan untuk terus hidup.
Setiap hari,
seusai mengantar Dina sekolah, Emak memulai pekerjaannya mengumpulkan dan
memecahkan batu-batu dengan modal serok bambu dan palu besi berdiameter sepuluh
senti. Emak lakoni pekerjaan kasarnya dengan penuh kesabaran. Dengan harapan
dari setiap butir batu yang beliau kumpulkan; dari palu besi yang beliau
pukulkan; dan dari setiap keringat yang menetas dari kening dan tubuhnya, dapat
memberi penghidupan yang layak untuk dua buah hatinya.
Keinginannya
sederhana. Emak hanya ingin Dani dan Dina tidak merasakan kesulitan dan
kesengsaraan seperti yang beliau rasakan selama ini. Emak tidak ingin kedua
anaknya merasa kekurangan selama beliau masih bisa berdiri dengan kedua
kakinya. Wanita paroh baya berwajah tirus ini biarlah beliau yang susah payah,
banting
tulang memeras keringat, asal
kedua anaknya bisa makan, bisa sekolah, bisa jajan, dan yang jelas lebih
bahagia darinya. Dan demi mereka juga, Emak rela tidak makan asal Dina dan Dani
makan tiga kali sehari.
Emak juga
berharap, dari jerih payahnya mengumpulkan dan memecahkan batubatu itu, beliau
bisa menjualnya ke tukang bangunan. Tidak banyak memang yang Emak peroleh dari
kerja kerasnya selama lima hari atau seminggu. Biasanya Emak memperoleh 40 ribu
sampai 50 ribu rupiah untuk satu gerobak batu kali yang telah
beliau pecah.
Untunglah, Dani
si anak sulung selalu membantunya—meski sebenarnya Emak tidak sampai hati
melihat anak gadisnya melakukan pekerjaan kasar itu. Jujur saja, Dani cukup
senang bisa membantu Emak bekerja, walaupun hanya mengangkuti batu dari kali ke
bawah pohon nangka di tepian sungai.
Kebetulan ini
adalah hari Minggu. Hari untuk membantu Emak mengumpulkan dan memecahkan batu-batu
kali. Bagi gadis berjilbab ini, hari Minggu dalam kamusnya bukan hari di mana
bisa tidur nyenyak hingga siang bolong atau bermalas-malasan di kursi empuk
sambil menonton acara televisi. Juga bukan hari untuk bersantai, jalanjalan
atau bersenang-senang dengan teman seumurannya.
Hari Minggu bagi
Dani adalah hari untuk membantu Emak, mengingat tidak setiap hari ia bisa
membantu Emak. Setiap pagi Dani harus berangkat sekolah selepas subuh dan baru
sampai di rumah begitu azan Asar berkumandang—pada saat itu, biasanya Emak
sudah selesai bekerja.
Makanya, begitu
ia selesai membersihkan rumah, memasak, mencuci dan beresberes rumah, sesegara
mungkin ia menyiapkan diri membantu Emak. Sambil membawa peralatan seperti yang
dibawa Emak, Dani menggandeng adik semata wayangnya melewati jalan terjal
berumput kering yang agak menurun ke arah sungai.
Dari kejauhan
tampak Emak dengan baju hijau kusam tengah duduk sambil memecah batu kali di
bawah sebatang pohon nangka yang mulai kehabisan daun. Dani langsung duduk di
sebelah Emak, sementara si kecil Dina dibiarkan bermainmain batu di sekitar
mereka.
“Batu yang Emak kumpulkan banyak
juga,” kata Dani sambil mulai memukulkan palu besinya.
“Kau seharusnya tidak di sini,”
ucap Emak membuat kening Dani berkerut. Dia lalu menatap Emak lekat-lekat,
tetapi Emak sama sekali tidak balas menatapnya.
“Emak bilang apa?” Dani tak
mengerti.
“Kau pulanglah. Ajak adikmu main.
Emak bisa lakukan ini sendiri.” Tandasnya sambil terus memukulkan palu, memecah
batu, memecah kegersangan siang yang membisu. Dani terenyak, bingung memandangi
Emak yang tiba-tiba terasa asing. Kenapa?
Ada apa?
“Kau dengar Emak ‘kan?” Tiba-tiba
nada bicara Emak meninggi. Tentu saja ini membuat Dani maupun Dina mengerjap.
Selama ini Dani tak pernah mendengar Emak bicara sedingin ini, apalagi tanpa
menatapnya.
“Tapi....”
“Emak tidak pernah menyuruhmu
membantu,” potong Emak makin keras memukulkan palunya, memecah batu hingga
berkeping-keping.
Masih kurang
percaya, Dani akhirnya beranjak. Sambil menggandeng adiknya, dia berjalan
perlahan meninggalkan Emak yang sama sekali tidak menatapnya. Dani menoleh,
memandangi Emak yang menunduk sambil tak henti-hentinya memukulkan palu.Dani
menghela nafas, dia melangkah lagi. Kenapa Emak begitu? Marahkah Emak padaku?
Pikirnya. Tepat pada langkahnya yang kelima, Dani dikejutkan dengan jeritan
Emak yang memantul dari satu sisi tebing yang lain. Sekonyong-konyong, dua
kakak beradik itu menoleh. Dani, matanya langsung membelalak begitu melihat
tangan kiri Emak terkulai di atas tumbukan batu dengan darah yang mengucur
deras, sementara palu besi yang semula digunakan untuk memecah batu tergeletak
tak berguna.
“Emak!” Pekik Dani langsung
menubruk tubuh Emak yang bersandar di batang pohon. Wajah tirus itu pucat,
bibir keringnya gemetar, keringat di keningnya makin santer mengalir, mata
cekungnya terpejam.
“Innalillahi, Emak!” Dani
berusaha menyentuh tangan kiri Emak sehalus mungkin, tetapi justru membuat Emak
makin mengerang kesakitan. Dani bingung. Ia ingin membantu Emak, tetapi ia tak
tahu harus melakukan apa, harus mulai dari mana. Terlebih tubuh Emak tiba-tiba
lemas seperti tanpa tulang. “Ya Allah,
apa yang harus hamba lakukan?” gumamnya sambil berusaha menyandarkan kepala
Emak di dadanya.
“Dina, cepat
panggilkan Lik Sukur dan Pak Ghozi. Cepat!” serunya pada Dina yang sejak tadi
hanya memandang bingung. Tanpa komentar, bocah bertubuh mungil itu lantas
berlari meninggalkan Emak dan Mbaknya.
“Emak, bertahanlah.” Ucap Dani
bergetar tidak kuasa memandangi luka menganga di tangan kiri Emak. Dani bahkan
hampir menangis dengan keadaan Emak yang makin melemah. Ditambah lagi cairan
merah kental itu tidak henti-hentinya mengucur, mewarnai tumpukan batu kelabu
yang sekian lama beliau kumpulkan sedikit demi
sedikit.
“Daaaan...” ucap
Emak lirih nyaris tak terdengar, membuat Dani harus sedikit mendekatkan
kepalanya.
“Ma... maaf... maafkan Emak...”
ucap Emak lagi terbata, menahan perih yang teramat sangat. Perih yang membuat
semua kekuatannya terhempas ke awan, perih yang membuatnya tidak bisa melakukan
apa pun meski hanya sekadar membuka mata. Ya, perih yang melampaui batas
kemanusiaan.
Sejak tangan
kirinya terluka dan tidak bisa bekerja, Emak jadi sangat pendiam. Wajah
sendunya jadi murung. Belakangan ini, Emak sering menghabiskan waktu untuk
melamun selama berjam-jam di bale-bale rumah. Tampak jelas di wajah senjanya
Emak memikirkan sesuatu, sesuatu yang membuatnya tampak frustasi. Beberapa kali
Dani memergoki Emak menangis. Setiap kali didekati dan ditanya, Emak selalu
menjawab tidak apa-apa, selalu bersikap seolah beliau baik-baik saja.
Jujur, Dani
semakin khawatir dengan keadaan Emak. Terlebih tangan kiri Emak yang terluka
belum sempat tersentuh tangan dokter karena kendala biaya. Luka di tangan Emak
hanya diobati dengan obat seadanya dan getah daun pinisilin yang ditanam di
kebun belakang. Akibatnya, luka menganga itu meradang, membengkakkan
bagian yang lain.
Dani yakin luka
itu sudah menginfeksi tangan Emak. Ia sebenarnya ingin membawa Emak ke bidan
desa dengan sisa uang hasil penjualan batu beberapa hari lalu. Hanya saja Emak
selalu menolak dengan alasan bahwa Dani dan Dian lebih membutuhkannya untuk
ongkos sekolah. Emak juga menegaskan bahwa tangannya baik-baik saja dan akan
segera sembuh. Dan yang dapat Dani lakukan tentu saja menuruti kata-kata Emak,
merawatnya dengan curahan kasih dan perhatian yang tiada pernah mengering.
Usai salat
Subuh, usai menyiapkan sarapan dan menyelesaikan hampir semua pekerjaan rumah,
seharusnya Dani cepat berangkat sekolah karena jarak 10 km yang ditempuh dengan
jalan kaki sering membuatnya terlambat sampai di sekolah. Entah kenapa, pagi
ini Dani merasa khawatir meninggalkan Emak. Dia merasa begitu karena
sudah tiga hari ini kesehatan
Emak makin menurun. Ditambah lagi sejak kemarin siang Emak tidak dapat beranjak
dari ranjang.
“Emak ingin memberimu sesuatu,
tetapi Emak tidak yakin apakah Emak bisa. Kau minta apa?”
“Terima kasih,
Mak. Doa dan kasih Emak sudah lebih dari cukup untuk Dani.” Dani lantas
menakupkan telapak tangan kanan Emak di pipinya yang mulus. Tangan Emak terasa
panas, juga lemas seperti tanpa tenaga.
“Kalau begitu, kau pergilah.
Nanti kau bisa kesiangan. Emak akan baik-baik saja.” Kata Emak pelan masih
dengan tersenyum.
“Dani tidak masalah membolos
sehari ini, Mak. Dani akan merawat Emak sampai Emak benar-benar sembuh.”
Emak menggeleng pelan, pelan
sekali sambil memejamkan matanya yang sayu.
“Tidak. Kau harus sekolah. Kau
harus menjadi yang terbaik seperti yang sering kau katakan pada Emak.”
“Tapi, Mak,” lanjut Dani, “Hari
ini Dani ada kelas sore. Itu artinya Dani akan pulang sampai malam.”
Emak tersenyum
tipis, itu pun terkesan dipaksakan, “Kau pergilah sekolah. Tunaikan kewajibanmu
sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua. Emak tidak meminta apa pun
padamu selain keberhasilanmu, kebahagiaanmu agar tidak bernasib seperti Emak.”
Berat, Dani menurut juga.
“Baiklah, Mak. Dani berangkat.
Assalamualaikum...” ucapnya sambil mengecup punggung tangan kanan Emak.
Emak tersenyum
memandangi punggung anak sulungnya yang tampak bersahaja. Emak tidak menyangka bahwa
anak sulungnya telah tumbuh menjadi gadis cantik berhati mulia. Namun, ada
sebuah rasa yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Sesuatu yang menyusup,
menggetarkan hati dan pikirannya. Sesuatu yang membuatnya kecewa pada dirinya
sendiri.
Emak lalu
menoleh pada Dina yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Pelan Emak berkata,
“Kau lihat Mbakmu itu, Din? Kau harus seperti dia, ya?” dan, si kecil Dina pun
mengangguk tegas. Samar-samar dari balik pekatnya malam, Dani bisa melihat
lampu rumahnya menyala, menembus sela-sela gedheg dinding rumahnya.
Sementara suara azan tanda salat Isya yang berkumandang dari surau tua yang
berdiri kokoh di ujung jalan seolah
menyambut kepulangannya dari
sekolah.
Pelan, Dani
mendorong pintu bambu rumahnya. Sambil mengucap salam, ia lantas masuk. Tampak
olehnya, di ruang tengah berlantai tanah dengan beberapa kursi bambu dan sebuah
meja yang sudah reot, Emak dan Dina tengah menunggunya. Dani tersenyum manis
melihat tatapan polos adiknya, sementara Emak menelungkupkan
kepala di atas meja. Sepertinya
Emak sangat kelelahan, pikir Dani.
Senyum Dani
makin mengembang ketika matanya membentur bayangan sepotong roti tar dengan
sebatang lilin kecil yang menyala. Roti sederhana yang Dani yakin dibeli Emak
di toko kue di ujung jalan desa. Roti yang selalu Emak berikan setiap kali
anakanaknya ulang tahun. Jadi, ini yang ingin Emak berikan untukku? Pikir Dani
setengah ingin menangis karena terlalu senang. Bagaimana mungkin Emak
menyempatkan diri membeli sepotong roti sementara tangannya yang terluka
dibiarkan tak tersentuh dokter? Terawang Dani.
“Ini untuk Mbak
Dani.” Kata Dina memecah keheningan. Mata jernihnya menatap Dani, “Emak bilang
minta dibangunkan kalau Mbak Dani pulang.” Dani tersenyum lantas mengangguk. Ia
berjalan ke sebelah kiri Emak lalu mendekatkan kepalanya ke kepala Emak yang
menelungkup. Pelan ia berkata, “Emak...” Emak bergeming. Tampaknya Emak telah
terlelap. “Emak, Dani pulang...” lanjut Dani kali ini sambil merangkul bahu
Emak. Masih belum ada jawaban.
Tiba-tiba
seberkas rasa khawatir menjalar ke sekujur tubuhnya. Perlahan tapi pasti.
Kekhawatiran itu menyurutkan senyum di bibir mungilnya. Ya, kekhawatiran yang
dirasakan bersama dengan rasa dingin dari punggung Emak. “Emak!” kini Dani
sedikit mengguncangkan bahu ringkih itu hingga kepala wanita separuh baya itu
terkulai begitu saja di lengannya. Sejenak, Dani pandangi wajah Emak yang
pasih. Tiga detik kemudian ada sesuatu yang ia rasakan, sesuatu yang berbeda,
sesuatu yang belum sempat ia pikirkan.
Wajah tirus Emak
pucat pasih dengan seulas senyum dingin mengembang di bibir kering yang jarang
tersentuh air. Matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang tidur. Dani
pias. Entah kenapa tiba-tiba tulang-tulangnya seperti dilolos satu persatu.
Dani seperti tersadar, ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga. Sesuatu
yang pergi bersama dengan sebatang lilin yang meleleh di atas sepotong roti,
sesuatu yang pergi bersama nyala lilin yang berkedip-kedip tertiup angin,
sesuatu yang pergi diiringi semayup suara iqomah dari surau tua di ujung
jalan.....
Sementara si
kecil Dina memandangi dua anggota keluarganya bergantian. Kepolosannya menjadi
saksi perjuangan Emak mengumpulkan dan memecahkan batu-batu kali demi sepotong
roti untuk anak yang beliau kasihi.