4 CONTOH TEKS BERITA SMP/MTs Terbaru


4 CONTOH TEKS BERITA


Pegawai Palembang Wajib Gotong Royong Akhir Pekan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan apresiasi kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang. Program gotong royong ini mendapatkan pujian dari KPK, terlebih telah disahkan menjadi Peraturan Wali Kota (Perwali) Palembang.
Tim pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Deputi Pencegahan KPK, Asep Chairullah, mengatakan program gotong royong yang jadi kegiatan rutin Pemkot Palembang bisa menjadi rujukan pemerintah daerah lain.
“ini program visioner dan berkaitan dengan langkah menjaga kelestarian Sungai Musi di Palembang,” ujarnya kepada Liputan6.com, seusai mengikuti rapat persiapan tunas Itegritas di Palembang Minggu 26 Februari 2017.
Menurutnya, konsistensi Wali Kota Palembang, Harnojoyo untuk menggelar gotong royong rutin setiap sabtu dan minggu perlu menjadi contoh pemerintah daerah lain. Terkhusus daerah yang bermasalah dengan tumpukan sampah yang mengakibatkan nr dan lainnya. Konsep gotong royong yang menjadi ciri khas Indonesia ini juga sudah diadopsi Den Hag Belanda. Melalui program Cityzen  Partisipation.
Sebab kegiatan tersbut, Palembang dipilih tuan rumah Tunas Integritas yang digelar KPK pada 1-3 Maret 2017 ini. Peserta yang ikut yaitu berasal dari perwakilan beberapa kementerian, Pemda Kabupaten/Kota se-Indonesia, serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“jadi nanti di workshop ini akan menghasilkan tiga visi,yakni Palembang kota wisata air, kota olahraga dunia, kuliner internasional serta kota modern berbasis Darussalam,” Ungkapnya.
Dengan adanya visi tersebut, lanut Asep, tiap daerah di Indonesia tidak perlu bingung untuk mencari lokasi gambaran integritas budaya seperti apa. Palembang juga aka menjadi kota yang mewakili salah satu integritas budaya Indonesia.
Wali Kota Palembang Harnojoyo, mengungkapkan program gotong royong yang digalakkannya seja ia menjabat terinpirasi dari predikat penyumbang sampah terbesar di dunia yang disematkan untuk Indonesia.
“program utama gotong royong di Palembang untuk mengurangi sampah yang ada, terlebih di sungai-sungai di Palembang,” ujarnya.
Perwali Palembang Gotong Royong yang telah disahkan dengan Nomor 38 Tahun 2017 berisi tentang kewajiban Aparat Negeri Sipil (PNS) dan aparat desa untuk melakukan dan mengikuti kegiatan gotong royong di Palembang.
Sebelum Perwali dikeluarkan, Wali Kota Palembang memang sudah sering melakukan kegiatan gotong royong dan bersih sungai di banyak kawasan di Palembang.

Heboh Dua Buaya Muncul Di Sungai Aceh

Lhoksumawe – Sejumlah warga dihebohkan dengan munculnya dua ekor buaya di aliran sungai kawasan samping pabrik PT. PIM, Dewantara, Aceh Utara, yang berbatasan dengan Kecamatan Muara Satu, Lhoksumawe, Aceh.
Berdasarkan informasi, keberadaan buaya tersebut awalnya diketahui oleh warga sekitar. Kemudian, isu kemunculan itu menyebar sehingga kawasan keberadaan buaya itu penuh dan menjadi tontonan warga.
“Mulai siang tadi hingga sore ramai masyarakat yang menyaksikan keberadaan buaya itu. Jika saya lihat, buaya itu tampak mondar-mandir seperti kelaparan gitu,” kata salah seorang warga Dewantara, Mirza kepada detikcom, Jumat (17/11/2017) malam.
Menurutnya, buaya itu sudah muncul di aliran sungai sejak Kamis malam, namun hingga kini belum ada petugas terkait yang menggiring buaya ke tempat lebih aman atau melakukan penangkapan. Sementara Kepala Seksi Konservasi Wilayah 1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Dedi Irvansyah mengatakan pihaknya sudah mengecek informasi keberadaan buaya tersebut  ke lokasi.
“Laporan dari petugas lapangan bahwa ada dua ekor buaya diperkirakan sepanjang empat meter di sungai kawasan PT. PIM,” kata Dedi dikonfirmasi detikcom, Jumat (17/11/2017). Dia menyebutkan keberadaan buaya tersebut menurut infoormasi masyarakat sudah muncul sejak kamis siang. Masyarakat melaporkan kepada pihaknya bahwa ada buaya berkeliaran di aliran sungai tersebut. Petugas pun langsung melakukan ground chek mulai sore tadi.
“Sudah kita cek. Nanti akan kita lakukan translokasi atau penangkapan jika buaya tersebut mengancam keselamatan warga sekitar. Sekarang kita pantau dulu dalam beberapa hari ke depan. Karena menurut informasi yang biasanya buaya itu hanya lewat saja,”tambah Dedi.
Dedi menuturkan pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan pihak Lanal lhoksumawe dan Koramil setempat untuk membantu menginformasikan agar masyarakat berhati-hati dan tidak melakukan aktifitas sementara di aliran sungai tersebut.

Dua Rumah Terbakar Dipadamkan 16 Mobil Pemadam Kebakaran

Duarumah di Cipete Utara, Jakarta Selatan, terbakar. Kebakaran ini sempat membuat lalu lintas di sekitar lokasi menjadi macet.
Dua rumah yang terbakar tersebut berlokasi di kawasan perkampungan Jalan Haji Jian, Cilandak Utara, Jakarta Selatan.
"Itu lokasinya masuk perkampungan. Jadi, masukJalanFatmawati Raya, kemudian masuk Jalan Cipete, dan masuk Jalan Haji Jian," kata petugas Pemadam
Kebakaran Sudin Jakarta Selatan, Dendi.Enam belas unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan ke lokasi. Mobil-mobil itu menyebar dan berusaha menjangkau lokasi kebakaran dari segala penjuru mata angin, mencari jalan tercepat. Akibatnya, macet tak terelakkan.
"Macet. Dari utara, barat, timur, kita kerahkan supaya mana yang lebih dulu sampai langsung bias menangani. Jadinya macet di Cipete, di Pos Fatmawati, dan sekitarnya," tutur Dendi.
Dendi menyatakan dua rumah yang terbakar itu berhasil dipadamkan dan sekarang sedang dilakukan pendinginan. Beruntung tak ada korban jiwa dari kebakaran ini. Penyebab kebakaran belum bias dipastikan oleh petugas.

PADATNYA PELABUHAN MERAK

Sepuluh hari menjelang Lebaran, Sabtu (15/11), Pelabuhan Penyeberangan Merak mulai dipadati truk. Truk-truk tersebut mengangkut barang nonsembilan bahan pokok (non sembako).
Tingginya arus truk dalam dua hari terakhir berkaitan dengan adanya larangan melintas bagi truk nonsembilan bahan pokok (non sembako) pada tanggal 21–25 November. Larangan tersebut berlaku bagi truk bersumbu lebih dari dua. Truk gandengan, truk tempelan, dan truk kontainer.
Penumpukan truk bersumbu dua tersebut seperti di Pelabuhan Merak menyebabkan antrean truk sekitar 100 meter dari pintu masuk kapal. Antrean terjadi di dermaga satu hingga dermaga empat. Tetapi, antrean tersebut masih dalam batas normal. Antrean belum membeludak ke luar area parker pelabuhan. Akan akibat penumpukan truk itu, beberapa sopir truk mengaku harus menunggu sekitar dua hingga empat hari untuk bisa masuk kapal.




5 CONTOH TEKS PERSUASI SMP/MTs Terbaru


5 CONTOH TEKS PERSUASI SMP/MTs TERBARU






Ayo Hidup Sehat

Dewasa ini banyak sekali penyakit baru yang bermunculan. Hal ini dikarenakan berkurangnya sistem imun di dalam tubuh kita. Jika sistem imun di dalam tubuh melemah, maka tubuh gampang sekali terkena penyakit. Selain itu, makanan-maakanan yang kita konsumsi tidak lagi mengandung vitamin dan mineral yang baik. Bahkan, saat ini telah banyak penjual makanan-makanan yang  tidak sehat. Terlebih lagi dengan padatnya aktifitas membuat kita tidak memiliki waktu untuk berolah raga. Padahal olahraga sangatlah baik untuk kesehatan kita. Akibatnya, tubuh menjadi lemah sehingga mudah terjangkit virus penyebab berbagai penyakit. Oleh karena itu, marilah kita menerapkan pola hidup sehat agar kita tidak mudah sakit dengan cara mengonsumsi makanan yang sehat dan berolahraga secara rutin.
Marilah Tanamkan Jiwa Tolong-Menolong

Manusia adalah makhluk social yang berarti tidak bias hidup sendiri. Kita pasti membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan semua urusan kita di dunia ini, dimulai dari kita lahir hingga kita menemui ajal kita. Selain itu, pekerjaan yang dilakukan bersama-sama akan terlihat mudah. Seperti kata pepatah, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Meskipun ada beberapa pekerjaan yang bias kita lakukan sendiri, tetapi pekerjaan itu akan terasa berat dan hasilnya kurang memuaskan jika dikerjakan sendiri. Namun, jika kita saling membantu, maka pekerjaan itu akan terasa sangat mudah dan memperoleh hasil yang sangat memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita tanamkan jiwa saling menolong antar sesame agar semua pekerjaan menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih baik.

Pupuk Kimia Yang Berbahaya Bagi Lingkungan

Penggunaan pupuk kimia memang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk kimia juga dapat memberikan keuntungan yang melimpah bagi petani dari hasil panen. Beberapa tahun pertama penggunaan pupuk kimia memang meningkatkan produksi panen secara pesat. Namun setelah belasan tahun penerapan pupuk kimia, mulailah terlihat dampak dan efek sampingnya.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh pupuk kimia sangat berbahaya karena dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan. Bahan kimia yang digunakan dalam pertaninan seperti pupuk dan pestisida telah merusak struktur kimia dan biologi tanah. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga dapat membuat buah yang dihasilkan terkontaminasi dengan pupuk kimia ini sehingga kualitasnya berkurang.
Langah yang bias dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan penggunaan pupuk organik seperti kompos. Penggunaan pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia, sehingga dosis pupuk dan akibat pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pupuk kimia bias dikurangi. Oleh sebab itu, beralihlah ke pupuk organik seperti kompos yang murah dan terjangkau juga aman bagi hasil panen.


Marilah Kembali Ke Hakikat Manusia

 Smartphone, stupid people, slogan itulah yang tepat untuk menggambarkan keadaan manusia sekarang ini. Saat ini banyak manusia disibukkan oleh teknologi ini yang tanpa kita sadari telah membawa kita keluar jauh dari garis hakikat menusia sebagai makhluk sosial.
Sebagaimana makhluk sosial, manusia sangatlah membutuhkan manusia lainnya, tetapi saat ini, kita sudah melupakan itu semua. Kita lebih memilih bermain dengan HP kita dibandingkan dengan teman-teman kita. Kita lebih memilih bertanya dengan HP kita daripada bertanya dengan orang-orang sekitar. Kita lebih memilih berinteraksi di dunia maya daripada berinteraksi dengan orang-orang baru yang ada di sekitar kita.
Tanpa kita sadari perilaku tersebut akan menciptakan pribadi yang pasif, acuh tak acuh, dan anti sosial. Sebelum hal tersebut memengaruhi kita lebih jauh lagi, bangkilah dari tempat duduk atau tempat tidur kita. Marilah matikan Handphone kita sejenak, lihatlah sekeliling kita betapa banyak hal yang bisa kita lakukan daripada hanya sibuk berkutat dengan handphone. Pergilah keluar dan berinteraksilah dengan sesam. Sapalah dan berkikan senyum yang indah, maka kita akan menyadari betapa indah dunia ini tanpa teknologi-teknologi tersebut. Oleh karena itu, marilah kembali kepada hakikat umat manusia dan jangan mau dibodohi oleh smartphone yang membuat kita menjadi stupid people.
Mari Hidup Sehat

Hidup sehat adalah idaman bagi setiap manusia. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang menginginkan sakit. Namun, bagaimana caranya agar kita tidak menderita sakit? Mudah saja, jawabannya adalah dengan menerapkan pola hidup sehat. Ada banyak pola hidup sehat yang bisa kita lakukan, diantaranya adalah mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga.
Konsumsilah makanan-makanan yang bergizi. Makanan-makanan yang mengandung mineral dan protein sangat baik untuk tubuh kita. Dengan mengonsumsi makanan ini, maka tubuh akan mendapatkan asupan gizi yang cukup.
Berolahragalah secara teratur. Olahraga yang teratur bisa meningkatkan daya tahan tubuh kita sehingga kita menjadi bugar dan tidak mudah terkena penyakit.
Hindarilah rokok dan minuman-minuman beralkohol. Kedua benda ini adalah racun dunia yang bisa merusak tubuh. Apabila kita menjaga tubuh dari rokok dan alcohol, maka itu artinya kita menjaga tubuh dari racun.
Demikianlah pola hidup sehat yang bisa kita terapkan. Oleh karena itu, mulai dari saat ini marilah menjaga kesehatan tubuh kita karena sakit mahal harganya.

4 CONTOH TEKS ULASAN SMP/MTS TERBARU


4 CONTOH TEKS ULASAN SMP/MTS TERBARU







Sang Pemimpi
Judul : Sang Pemimpi
Penulis : Andrea Hirata
Jenis Buku : Fiksi
Penerbit : Bentang
Cetakan I : Juli 2006
Tebal : X +292 halaman
Sang Pemimpi adalah novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel ini menceritakan kisah kehidupannya di Pulau Belitong yang dililit kemiskinan. Ada tiga remaja SMA yang bermimpi untuk melanjutkan sekolah hingga ke Prancis dan menjelajah Eropa hingga ke Afrika. Ikal, Arai, dan Jimbron adalah para pemimpi-pemimpi itu.
Pada bab pertama novel ini, Andrea menceritakan bahwa dirinya (dalam novel ini digambarkan sebagai Ikal) dan kedua temannya, Arai dan Jimbron adalah tiga remaja yang nakal. Mereka sangat dibenci oleh Pak Mustar, tokoh antagonis dalam novel ini. Sebaliknya, hal berbeda diberikan oleh sang
Kepala Sekolah yang bernama Pak Balia. Pak Balialah yang telah memberikan mimpi-mimpi kepada murid-muridnya, terutama kepada Ikal, Arai dan Jimbron. “Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbonne. Ikuti jejak-jejak Satre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Di sanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban…”, itulah kata-kata yang sering diucapkan Pak Balia.
Pada bab-bab berikutnya pembaca akan melihat potongan-potongan kisah seperti berdiri sendiri. Andrea hanya membuat cerpen-cerpen dalam satu novel. Meskipun demikian, pada setiap bab, mulai awal hingga akhir, novel ini memiliki hubungan yang sangat erat, seperti mozaik-mozaik dalam kehidupan.
Novel yang disajikan dengan bahasa yang cantik ini mampu menyihir pembaca sehingga mereka bisa ikut merasakan kebahagiaan, semangat keputusasaan, dan kesedihan. Selain itu, novel ini memiliki lelucon-lelucon yang tidak biasa, cerdas, dan pasti akan membuat pembaca tertawa. Dengan membaca novel ini, Anda akan mengetahui bahwa Andrea Hirata memiliki pribadi yang cerdas dalam mengolah kata-kata dan memiliki wawasan yang sangat luas.
Meskipun disebut sebagai novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi, di novel ini nyaris tidak ada hubungannya dengan buku Laskar Pelangi. Sang Pemimpi hanya menyebutkan kata Laskar Pelangi hanya sekali. Keponakan yang Ikal biayai saat di Jawa juga tidak disebut sama sekali dalam novel ini, padahal di dalam novel sebelumnya telah diceritakan dengan jelas.
Dengan mengesampingkan beberapa kekurangan tadi, novel ini benar-benar buku yang sangat dibutuhkan oleh remaja negeri ini. Novel ini member motivasi, semangat, dan mimpi pada anak-anak yang patah semangat untuk sekolah dan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, buku ini
juga mengajarkan tentang ketidakmungkinan yang bisa diwujudkan dengan kerja keras.

Laskar Pelangi
Mereka bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai dengan kelas 3 SMP. Pada bagian akhir cerita, anggota Laskar Pelangi bertambah satu anak perempuan yang bernama Flo, seorang murid pindahan. Keterbatasan yang ada tidak membuat mereka putus asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik.
Cerita terjadi di desa Gantung, Belitung Timur. Cerita dimulai ketika sekolah Muhammadiyah terancam akan dibubarkan oleh Depdikbud Sumsel jika tidak mencapai siswa baru sejumlah sepuluh anak. Ketika itu, baru sembilan anak yang menghadiri upacara pembukaan. Ketika Pak Harfan, sang
Kepala Sekolah, hendak berpidato menutup sekolah, Harun dan ibunya dating untuk mendaftarkan diri di sekolah kecil itu.
Dari sanalah dimulai cerita mereka, yaitu mulai dari penempatan tempat duduk, pertemuan mereka dengan Pak Harfan, perkenalan mereka yang luar biasa, yaitu A Kiong yang malah cengar-cengir ketika ditanyakan namanya oleh guru mereka, Bu Mus. Kejadian bodoh yang dilakukan oleh Borek, pemilihan ketua kelas yang diprotes keras oleh Kucai, kejadian ditemukannya bakat luar biasa Mahar, pengalaman cinta pertama Ikal, sampai pertaruhan nyawa Lintang yang mengayuh sepeda 80 km pulang pergi dari rumahnya ke sekolah mewarnai cerita itu.
Mereka, Laskar Pelangi, nama yang diberikan Bu Muslimah akan kesenangan mereka terhadap pelangi sempat mengharumkan nama sekolah dengan berbagai cara, misalnya, pembalasan dendam Mahar yang selalu dipojokkan kawan-kawannya karena kesenangannya pada okultisme yang membuahkan kemenangan manis pada karnaval 17 Agustus dan kejeniusan luar biasa Lintang yang menantang dan mengalahkan Drs. Zulfikar, guru sekolah kaya yang berijazah dan terkenal, dan memenangkan lomba cerdas cermat. Laskar Pelangi mengarungi hari-hari menyenangkan, tertawa, dan menangis bersama. Kisah sepuluh kawanan ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan dan dilanjutkan dengan kejadian 12 tahun kemudian, yakni Ikal yang berjuang di luar Pulau Belitong kembali ke kampungnya. Kisah indah ini diringkas dengan kocak dan mengharukan oleh Andrea Hirata. Kita bahkan bisa merasakan semangat masa kecil anggota Sepuluh Laskar Pelangi ini.
Novel ini sangat bermanfaat bagi para remaja, khususnya siswa–siswi, karena pada cerita tersebut dikisahkan perjuangan yang begitu berat yang dialami oleh tokoh–tokoh Laskar Pelangi untuk bersekolah dan menuntut ilmu agar menjadi orang besar nantinya.
Kelebihan novel ini, antara lain, berisi motivasi bagi para pembacanya. Isinya begitu menarik dan mengesankan, banyak amanat yang dapat diambil dari kisah tersebut.
Naskah Laskar Pelangi telah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama dengan novelnya. Film Laskar Pelangi diproduksi oleh Miles Films dan Mizan Production dan digarap oleh sutradara Riri Riza. Anggota Laskar Pelangi mempunyai karakter dan bakat yang berbeda-beda. Ikal adalah tokoh “aku” dalam cerita ini. Ikal yang selalu menjadi peringkat kedua memiliki teman sebangku bernama Lintang. Ia merupakan anak terpintar dalam Laskar Pelangi. Ia berminat pada sastra. Hal itu terlihat dari
kesehariannya yang senang menulis puisi. Ia menyukai A Ling, sepupu dari A Kiong, yang ditemuinya pertama kali di sebuah toko kelontong bernama Toko Sinar Harapan. Pada akhirnya, hubungan mereka berdua terpaksa berakhir oleh jarak akibat kepergian A Ling ke Jakarta untuk menemani bibinya.
Lintang, teman sebangku Ikal, adalah anak yang luar biasa jenius. Ayahnya bekerja sebagai nelayan miskin yang tidak memiliki perahu dan harus menanggung kehidupan empat belas jiwa anggota keluarga. Lintang telah menunjukkan minat besar untuk bersekolah semenjak hari pertama berada
di sekolah. Ia selalu aktif di dalam kelas dan memiliki cita-cita sebagai ahli matematika. Sekalipun ia luar biasa pintar, pria kecil berambut merah ikal ini pernah salah membawa peralatan sekolahnya. Cita-citanya terpaksa ditinggalkan agar ia dapat bekerja untuk membiayai kebutuhan hidup keluarganya semenjak ayahnya meninggal.
Sahara adalah satu-satunya gadis dalam anggota Laskar Pelangi. Sahara adalah gadis keras kepala berpendirian kuat yang sangat patuh kepada agama. Ia adalah gadis yang ramah dan pandai, ia baik kepada siapa saja kecuali pada A Kiong yang semenjak mereka masuk sekolah sudah ia basahi dengan air
dalam termosnya.
Mahar, pria tampan bertubuh kurus ini, memiliki bakat dan minat besar pada seni. Pertama kali diketahui ketika tanpa sengaja Bu Muslimah menunjuknya untuk bernyanyi di depan kelas pada saat pelajaran seni suara. Ketika dewasa, Mahar sempat menganggur menunggu nasib menyapanya karena tak bias ke mana pun lantaran ibunya yang sakit-sakitan. Akan tetapi, nasib baik menyapanya dan ia diajak petinggi untuk membuat dokumentasi permainan anak tradisional setelah membaca artikel yang ia tulis di sebuah majalah. Akhirnya, ia berhasil meluncurkan sebuah novel tentang persahabatan.
A Kiong adalah keturunan Tionghoa. Ia menjadi pengikut sejati Mahar sejak kelas satu. Baginya, Mahar adalah suhunya yang agung. Kendatipun pria kecil ini berwajah buruk rupa, ia memiliki rasa persahabatan yang tinggi dan baik hati, serta suka menolong pada siapa pun kecuali Sahara. Namun, meski mereka selalu bertengkar, mereka berdua saling mencintai satu sama lain.
Syahdan adalah anak nelayan yang dalam ceria ini tak pernah menonjol. Kalau ada apa-apa, dia pasti yang paling tidak diperhatikan. Ketika bermain sandiwara, Syahdan hanya kedapatan jadi tukang kipas putri dan itu pun masih banyak kesalahannya. Syahdan adalah saksi cinta pertama Ikal. Ia dan Ikal bertugas membeli kapur di Toko Sinar Harapan semenjak Ikal jatuh cinta pada A Ling. Syahdan ternyata memiliki cita-cita yang tidak pernah terbayang oleh Laskar Pelangi lainnya, yaitu menjadi aktor. Dengan bekerja keras, pada akhirnya dia menjadi aktor sungguhan, meskipun hanya mendapatkan peran kecil seperti tuyul atau jin. Setelah bosan, ia pergi dan kursus komputer. Setelah itu, ia berhasil menjadi network designer.
Kucai adalah ketua kelas sepanjang generasi sekolah Laskar Pelangi. Ia menderita rabun jauh karena kurang gizi dan penglihatannya melenceng 20 derajat sehingga jika menatap marah ke arah Borek, akan terlihat ia sedang memperhatikan Trapani. Laki-laki ini sejak kecil terlihat bisa menjadi politikus
dan akhirnya diwujudkan ketika ia dewasa menjadi ketua fraksi di DPRD Belitong.
Borek adalah pria besar maniak otot. Borek selalu menjaga citranya sebagai laki-laki maco. Ketika dewasa, ia menjadi kuli di toko milik A Kiong dan Sahara. Trapani adalah pria tampan yang pandai dan baik hati. Ia sangat mencintai ibunya. Apa pun yang ia lakukan harus selalu didampingi ibunya, misalnya, ketika mereka akan tampil sebagai band yang dikomando oleh Mahar. Ia tidak mau tampil jika tak ditonton ibunya. Cowok yang bercita-cita menjadi guru ini akhirnya berakhir di rumah sakit jiwa karena ketergantungannya terhadap ibunya.
Harun adalah pria yang memiliki keterbelakangan mental. Ia memulai sekolah dasar ketika berumur 15 tahun. Laki-laki jenaka ini senantiasa bercerita tentang kucingnya yang berbelang tiga dan melahirkan tiga anak yang masing-masing berbelang tiga pada tanggal tiga kepada Sahara. Ia senang sekali menanyakan kapan libur lebaran pada Bu Muslimah. Ia menyetor 3 buah botol kecap ketika disuruh mengumpulkan karya seni kelas enam.
Tokoh-tokoh lain dalam Novel Laskar Pelangi adalah Bu Muslimah, bernama lengkap N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid. Dia adalah Ibunda Guru bagi Laskar Pelangi. Wanita lembut ini adalah pengajar pertama Laskar Pelangi dan merupakan guru yang paling berharga bagi mereka.
Pak Harfan, nama lengkap K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor adalah Kepala Sekolah dari sekolah Muhammadiyah. Ia adalah orang yang sangat baik hati dan penyabar meski murid-murid awalnya takut melihatnya.
Flo, bernama asli Floriana, adalah seorang anak tomboi yang berasal dari keluarga kaya. Dia merupakan murid pindahan dari sekolah yang kaya dan sekaligus tokoh terakhir yang muncul sebagai bagian dari Laskar Pelangi. Awal pertama kali masuk sekolah, ia sempat membuat kekacauan dengan mengambil alih tempat duduk Trapani sehingga Trapani yang malang terpaksa tergusur. Ia melakukannya dengan alasan ingin duduk di sebelah Mahar dan tak mau didebat.
A Ling adalah cinta pertama Ikal yang merupakan saudara sepupu A Kiong. A Ling yang cantik dan tegas ini terpaksa berpisah dengan Ikal karena harus menemani bibinya yang tinggal sendiri.
Novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, tidak hanya popular di Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia, hingga ke Amerika Serikat dan mendapatkan penghargaan penerbit para pemenang nobel sastra. Hingga Desember 2012 ada 36 negara yang memopulerkan Novel Laskar Pelangi ini dan menjadi best seller serta diterjemahkan ke dalam 18 bahasa.

Nasihat untuk Anakku

Ketika engkau sudah bisa membaca nasihat ini, anakku, tentu keadaan dunia sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau membaca nasihatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bus sampai tiga jam di Salemba, jalan di mana ayahmu dulu pernah menanti bus sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh lima satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bus kedua
yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bus itu seperti ikan pepesan layaknya. Bus ketiga datang, yang terlambat setengah jam dari semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk. Kemudian, lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Karena ratapannya itu, bus-bus, becak-becak, yang ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya, tetapi menimpa kepala orang lain.
Tentu pada masa engkau membaca nasihatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bus-bus rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun ayah kira sudah tak ditarik manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu naik becak atau bus, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang emas dan tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini, anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasihat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah duaratus rupiah.
Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa Ayah membikin nasihat ini Cuma berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum di sana.
“Selamat ulang tahun,”kata teman Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah,” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah
dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia karena dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa di satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling merdeka di dunia ini, biar pun kemerdekaan itu cuma angan-angan saja. Tetapi waktu itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu kepuasan duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati; karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia. “Kapan bukumu terbit?” tanya temanku itu. Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya seperdua ratus detik saja beda waktunya. “Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Apa rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sebenarnya orang bisa menghitung waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam.
Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama ia pun tahu berapa lama lagi ia akan bisa
mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera menuduhku telah gila. Tetapi dia tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“Sebuah buku harian,” jawabku.
“Sebuah buku harian?”
“Ya, sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis. Apa saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang
dari tingkat dan pangkat apa pun juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau, biar pun kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku sendiri saja,” kataku.
“Apa lagi?”
“Jangan memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku harian itu bisa juga kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah ikut menyumbang perekonomian negaranya, biar pun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta,” kataku.
“Kau tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
“Aku tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli sembilan puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan sembilan puluh juta buku harian dan sembilan puluh juta pensil atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biar pun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.” Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya: “Apalagi yang akan kau beli?” “Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku. “Aku mau coba untung di sana,” sambungku. Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung menontoni ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang yang betul ketawa. Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia sebetulnya bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasihat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi: “Aku sudah malu pada-Mu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu meyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku. Sebenarnya nasihat ini, anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak bunuh diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi dalam keadaan selamat, janganlah engkau malu. Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri, anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga hancur.
Ayahmu yakin, pada waktu kau membaca nasihatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja, anakku. Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini. Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita pendek di mana tertulis nama Ayahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa alasan yang bisa kusebutkan. Seorang pengarang yang baik selalu berusaha mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan, dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu kebenaran.
kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai pengarang, cuma membutuhkan dua macam benda, yaitu sebuah arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu ayahmu dapat membuktikan kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa
membelinya di toko-toko,” kataku.
“Dan buku harian itu, apakah isinya?”
“Macam-macam, di antaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak bisa digadaikan, dan yang kau baca ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu November, tepat pada hari ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasihatku-nasihatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambangan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.

Emak dan Sepotong Roti

Siang itu begitu terik. Pancaran sinar matahari tanpa ampun membakar punggung Emak yang tengah mengumpulkan batu-batu kali dari sungai yang mengering. Tampaknya, kemarau sudah kelewatan. Padahal, sekarang sudah memasuki bulan Desember. Bulan yang disebut-sebut sebagai bulan hujan. Namun, hujan justru di
bulan ini tidak turun meski setetes. Akibatnya, bisa dilihat sendiri. Hampir semua lahan persawahan mengering, menyisakan pohon pari yang menguning kering; tidak ada rumput liar yang tumbuh menghijau; hanya ada batang-batang pohon kering yang terus menerus menggugurkan daunnya setiap kali angin berhembus. Hah… sepertinya
kemarau sudah makin menggila. Lihatlah, satu-satunya sungai yang kami jadikan sumber air pun mengering, seolah dihisap tanpa bekas, meninggalkan batu-batu terjal yang membisu.
Tentu saja ini membuat keadaan desa kami makin terpuruk. Harus diakui, desa kami memang termasuk desa miskin yang sering dilanda kekeringan saat musim kemarau. Namun, desa kami belum pernah seterpuruk ini; sumber kehidupan kami mengering tanpa sisa sehingga membuat para penduduk desa meninggalkan sungai
kerontang itu dan mencari sumber air di tempat lain.
Kecuali Emak. Bisa dibilang Emak adalah satu-satunya penduduk yang masih setia mendatangi sungai kerontang itu. Bukan. Bukan untuk mengambil sisa-sisa air sungai kerontang itu yang pasti. Seperti penduduk lain, Emak pergi ke gunung untuk mendapatkan air. Setiap hari Emak datang ke sungai itu karena sebuah pekerjaan. Sejak memasuki kemarau tahun lalu, Emak tidak lagi bekerja sebagai buruh tani, melainkan sebagai pengumpul dan pemecah batu kali. Memang, pekerjaan ini tampak—dan memang—terlalu kasar untuk seorang wanita seperti beliau. Namun,
setidaknya, bagi Emak dengan pekerjaannya ini ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, menyekolahkan kedua anaknya yang kini duduk di bangku kelas XII SMA dan kelas 1 sekolah dasar.
Namun, sepertinya bukan awal kemarau tahun lalu bukanlah awal yang membuat Emak menjadi wanita pekerja keras macam sekarang. Tepatnya, Emak menjadi tulang punggung keluarga sejak meninggalnya bapak empat tahun lalu akibat epidemi yang melanda desa kami. Ya benar. Sejak saat itulah Emak harus menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga yang menafkahi kedua anaknya, Dani dan Dina.
Emak memulai pekerjaannya sebagai buruh cuci. Namun, karena tetangga kami kurang membutuhkan tenaganya, Emak berpindah menjadi buruh tani. Sayang, desa kecil kami sering dilanda kekeringan berkepanjangan. Tidak banyak petani yang menggarap sawahnya karena terlalu sering dirugikan oleh ulah kemarau yang angkuh.
Sebelumnya, Emak juga pernah menjadi buruh pikul di pasar. Akan tetapi, tubuhnya yang kurus dan ringkih membuatnya tidak bisa terlalu lama melakoni pekerjaan itu, belum lagi upah yang tidak seberapa, tidak sebanding dengan tenaga dan keringat yang beliau keluarkan. Tidak sebanding juga dengan sakit pinggang yang sering Emak rasakan setiap malam.
Akhirnya, Emak memutuskan untuk menjadi pengumpul dan pemecah batu kali. Emak mempunyai alasan sendiri mengapa beliau memilih pekerjaan kasar itu. Bagi Emak, tidak selamanya kemarau dan kekeringan yang sering melanda desa selalu membawa kerugian dan penderitaan. Setidaknya, walaupun kemarau lebih sering meneteskan keringatnya daripada meneteskan air dari langit, kemarau masih memberinya kehidupan. Bagi Emak keringnya air sungai tidak berarti mengeringnya harapan untuk hidup seperti yang selama ini dikeluhkan banyak penduduk. Justru dengan mengeringnya air sungai, Emak mempunyai peluang dan harapan untuk terus hidup.
Setiap hari, seusai mengantar Dina sekolah, Emak memulai pekerjaannya mengumpulkan dan memecahkan batu-batu dengan modal serok bambu dan palu besi berdiameter sepuluh senti. Emak lakoni pekerjaan kasarnya dengan penuh kesabaran. Dengan harapan dari setiap butir batu yang beliau kumpulkan; dari palu besi yang beliau pukulkan; dan dari setiap keringat yang menetas dari kening dan tubuhnya, dapat memberi penghidupan yang layak untuk dua buah hatinya.
Keinginannya sederhana. Emak hanya ingin Dani dan Dina tidak merasakan kesulitan dan kesengsaraan seperti yang beliau rasakan selama ini. Emak tidak ingin kedua anaknya merasa kekurangan selama beliau masih bisa berdiri dengan kedua kakinya. Wanita paroh baya berwajah tirus ini biarlah beliau yang susah payah, banting
tulang memeras keringat, asal kedua anaknya bisa makan, bisa sekolah, bisa jajan, dan yang jelas lebih bahagia darinya. Dan demi mereka juga, Emak rela tidak makan asal Dina dan Dani makan tiga kali sehari.
Emak juga berharap, dari jerih payahnya mengumpulkan dan memecahkan batubatu itu, beliau bisa menjualnya ke tukang bangunan. Tidak banyak memang yang Emak peroleh dari kerja kerasnya selama lima hari atau seminggu. Biasanya Emak memperoleh 40 ribu sampai 50 ribu rupiah untuk satu gerobak batu kali yang telah
beliau pecah.
Untunglah, Dani si anak sulung selalu membantunya—meski sebenarnya Emak tidak sampai hati melihat anak gadisnya melakukan pekerjaan kasar itu. Jujur saja, Dani cukup senang bisa membantu Emak bekerja, walaupun hanya mengangkuti batu dari kali ke bawah pohon nangka di tepian sungai.
Kebetulan ini adalah hari Minggu. Hari untuk membantu Emak mengumpulkan dan memecahkan batu-batu kali. Bagi gadis berjilbab ini, hari Minggu dalam kamusnya bukan hari di mana bisa tidur nyenyak hingga siang bolong atau bermalas-malasan di kursi empuk sambil menonton acara televisi. Juga bukan hari untuk bersantai, jalanjalan atau bersenang-senang dengan teman seumurannya.
Hari Minggu bagi Dani adalah hari untuk membantu Emak, mengingat tidak setiap hari ia bisa membantu Emak. Setiap pagi Dani harus berangkat sekolah selepas subuh dan baru sampai di rumah begitu azan Asar berkumandang—pada saat itu, biasanya Emak sudah selesai bekerja.
Makanya, begitu ia selesai membersihkan rumah, memasak, mencuci dan beresberes rumah, sesegara mungkin ia menyiapkan diri membantu Emak. Sambil membawa peralatan seperti yang dibawa Emak, Dani menggandeng adik semata wayangnya melewati jalan terjal berumput kering yang agak menurun ke arah sungai.
Dari kejauhan tampak Emak dengan baju hijau kusam tengah duduk sambil memecah batu kali di bawah sebatang pohon nangka yang mulai kehabisan daun. Dani langsung duduk di sebelah Emak, sementara si kecil Dina dibiarkan bermainmain batu di sekitar mereka.
“Batu yang Emak kumpulkan banyak juga,” kata Dani sambil mulai memukulkan palu besinya.
“Kau seharusnya tidak di sini,” ucap Emak membuat kening Dani berkerut. Dia lalu menatap Emak lekat-lekat, tetapi Emak sama sekali tidak balas menatapnya.
“Emak bilang apa?” Dani tak mengerti.
“Kau pulanglah. Ajak adikmu main. Emak bisa lakukan ini sendiri.” Tandasnya sambil terus memukulkan palu, memecah batu, memecah kegersangan siang yang membisu. Dani terenyak, bingung memandangi Emak yang tiba-tiba terasa asing. Kenapa?
Ada apa?
“Kau dengar Emak ‘kan?” Tiba-tiba nada bicara Emak meninggi. Tentu saja ini membuat Dani maupun Dina mengerjap. Selama ini Dani tak pernah mendengar Emak bicara sedingin ini, apalagi tanpa menatapnya.
“Tapi....”
“Emak tidak pernah menyuruhmu membantu,” potong Emak makin keras memukulkan palunya, memecah batu hingga berkeping-keping.
Masih kurang percaya, Dani akhirnya beranjak. Sambil menggandeng adiknya, dia berjalan perlahan meninggalkan Emak yang sama sekali tidak menatapnya. Dani menoleh, memandangi Emak yang menunduk sambil tak henti-hentinya memukulkan palu.Dani menghela nafas, dia melangkah lagi. Kenapa Emak begitu? Marahkah Emak padaku? Pikirnya. Tepat pada langkahnya yang kelima, Dani dikejutkan dengan jeritan Emak yang memantul dari satu sisi tebing yang lain. Sekonyong-konyong, dua kakak beradik itu menoleh. Dani, matanya langsung membelalak begitu melihat tangan kiri Emak terkulai di atas tumbukan batu dengan darah yang mengucur deras, sementara palu besi yang semula digunakan untuk memecah batu tergeletak tak berguna.
“Emak!” Pekik Dani langsung menubruk tubuh Emak yang bersandar di batang pohon. Wajah tirus itu pucat, bibir keringnya gemetar, keringat di keningnya makin santer mengalir, mata cekungnya terpejam.
“Innalillahi, Emak!” Dani berusaha menyentuh tangan kiri Emak sehalus mungkin, tetapi justru membuat Emak makin mengerang kesakitan. Dani bingung. Ia ingin membantu Emak, tetapi ia tak tahu harus melakukan apa, harus mulai dari mana. Terlebih tubuh Emak tiba-tiba lemas seperti tanpa tulang.  “Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?” gumamnya sambil berusaha menyandarkan kepala Emak di dadanya.
“Dina, cepat panggilkan Lik Sukur dan Pak Ghozi. Cepat!” serunya pada Dina yang sejak tadi hanya memandang bingung. Tanpa komentar, bocah bertubuh mungil itu lantas berlari meninggalkan Emak dan Mbaknya.
“Emak, bertahanlah.” Ucap Dani bergetar tidak kuasa memandangi luka menganga di tangan kiri Emak. Dani bahkan hampir menangis dengan keadaan Emak yang makin melemah. Ditambah lagi cairan merah kental itu tidak henti-hentinya mengucur, mewarnai tumpukan batu kelabu yang sekian lama beliau kumpulkan sedikit demi
sedikit.
“Daaaan...” ucap Emak lirih nyaris tak terdengar, membuat Dani harus sedikit mendekatkan kepalanya.
“Ma... maaf... maafkan Emak...” ucap Emak lagi terbata, menahan perih yang teramat sangat. Perih yang membuat semua kekuatannya terhempas ke awan, perih yang membuatnya tidak bisa melakukan apa pun meski hanya sekadar membuka mata. Ya, perih yang melampaui batas kemanusiaan.
Sejak tangan kirinya terluka dan tidak bisa bekerja, Emak jadi sangat pendiam. Wajah sendunya jadi murung. Belakangan ini, Emak sering menghabiskan waktu untuk melamun selama berjam-jam di bale-bale rumah. Tampak jelas di wajah senjanya Emak memikirkan sesuatu, sesuatu yang membuatnya tampak frustasi. Beberapa kali Dani memergoki Emak menangis. Setiap kali didekati dan ditanya, Emak selalu menjawab tidak apa-apa, selalu bersikap seolah beliau baik-baik saja.
Jujur, Dani semakin khawatir dengan keadaan Emak. Terlebih tangan kiri Emak yang terluka belum sempat tersentuh tangan dokter karena kendala biaya. Luka di tangan Emak hanya diobati dengan obat seadanya dan getah daun pinisilin yang ditanam di kebun belakang. Akibatnya, luka menganga itu meradang, membengkakkan
bagian yang lain.
Dani yakin luka itu sudah menginfeksi tangan Emak. Ia sebenarnya ingin membawa Emak ke bidan desa dengan sisa uang hasil penjualan batu beberapa hari lalu. Hanya saja Emak selalu menolak dengan alasan bahwa Dani dan Dian lebih membutuhkannya untuk ongkos sekolah. Emak juga menegaskan bahwa tangannya baik-baik saja dan akan segera sembuh. Dan yang dapat Dani lakukan tentu saja menuruti kata-kata Emak, merawatnya dengan curahan kasih dan perhatian yang tiada pernah mengering.
Usai salat Subuh, usai menyiapkan sarapan dan menyelesaikan hampir semua pekerjaan rumah, seharusnya Dani cepat berangkat sekolah karena jarak 10 km yang ditempuh dengan jalan kaki sering membuatnya terlambat sampai di sekolah. Entah kenapa, pagi ini Dani merasa khawatir meninggalkan Emak. Dia merasa begitu karena
sudah tiga hari ini kesehatan Emak makin menurun. Ditambah lagi sejak kemarin siang Emak tidak dapat beranjak dari ranjang.
“Emak ingin memberimu sesuatu, tetapi Emak tidak yakin apakah Emak bisa. Kau minta apa?”
“Terima kasih, Mak. Doa dan kasih Emak sudah lebih dari cukup untuk Dani.” Dani lantas menakupkan telapak tangan kanan Emak di pipinya yang mulus. Tangan Emak terasa panas, juga lemas seperti tanpa tenaga.
“Kalau begitu, kau pergilah. Nanti kau bisa kesiangan. Emak akan baik-baik saja.” Kata Emak pelan masih dengan tersenyum.
“Dani tidak masalah membolos sehari ini, Mak. Dani akan merawat Emak sampai Emak benar-benar sembuh.”
Emak menggeleng pelan, pelan sekali sambil memejamkan matanya yang sayu.
“Tidak. Kau harus sekolah. Kau harus menjadi yang terbaik seperti yang sering kau katakan pada Emak.”
“Tapi, Mak,” lanjut Dani, “Hari ini Dani ada kelas sore. Itu artinya Dani akan pulang sampai malam.”
Emak tersenyum tipis, itu pun terkesan dipaksakan, “Kau pergilah sekolah. Tunaikan kewajibanmu sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tua. Emak tidak meminta apa pun padamu selain keberhasilanmu, kebahagiaanmu agar tidak bernasib seperti Emak.” Berat, Dani menurut juga.
“Baiklah, Mak. Dani berangkat. Assalamualaikum...” ucapnya sambil mengecup punggung tangan kanan Emak.
Emak tersenyum memandangi punggung anak sulungnya yang tampak bersahaja. Emak tidak menyangka bahwa anak sulungnya telah tumbuh menjadi gadis cantik berhati mulia. Namun, ada sebuah rasa yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Sesuatu yang menyusup, menggetarkan hati dan pikirannya. Sesuatu yang membuatnya kecewa pada dirinya sendiri.
Emak lalu menoleh pada Dina yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Pelan Emak berkata, “Kau lihat Mbakmu itu, Din? Kau harus seperti dia, ya?” dan, si kecil Dina pun mengangguk tegas. Samar-samar dari balik pekatnya malam, Dani bisa melihat lampu rumahnya menyala, menembus sela-sela gedheg dinding rumahnya. Sementara suara azan tanda salat Isya yang berkumandang dari surau tua yang berdiri kokoh di ujung jalan seolah
menyambut kepulangannya dari sekolah.
Pelan, Dani mendorong pintu bambu rumahnya. Sambil mengucap salam, ia lantas masuk. Tampak olehnya, di ruang tengah berlantai tanah dengan beberapa kursi bambu dan sebuah meja yang sudah reot, Emak dan Dina tengah menunggunya. Dani tersenyum manis melihat tatapan polos adiknya, sementara Emak menelungkupkan
kepala di atas meja. Sepertinya Emak sangat kelelahan, pikir Dani.
Senyum Dani makin mengembang ketika matanya membentur bayangan sepotong roti tar dengan sebatang lilin kecil yang menyala. Roti sederhana yang Dani yakin dibeli Emak di toko kue di ujung jalan desa. Roti yang selalu Emak berikan setiap kali anakanaknya ulang tahun. Jadi, ini yang ingin Emak berikan untukku? Pikir Dani setengah ingin menangis karena terlalu senang. Bagaimana mungkin Emak menyempatkan diri membeli sepotong roti sementara tangannya yang terluka dibiarkan tak tersentuh dokter? Terawang Dani.
“Ini untuk Mbak Dani.” Kata Dina memecah keheningan. Mata jernihnya menatap Dani, “Emak bilang minta dibangunkan kalau Mbak Dani pulang.” Dani tersenyum lantas mengangguk. Ia berjalan ke sebelah kiri Emak lalu mendekatkan kepalanya ke kepala Emak yang menelungkup. Pelan ia berkata, “Emak...” Emak bergeming. Tampaknya Emak telah terlelap. “Emak, Dani pulang...” lanjut Dani kali ini sambil merangkul bahu Emak. Masih belum ada jawaban.
Tiba-tiba seberkas rasa khawatir menjalar ke sekujur tubuhnya. Perlahan tapi pasti. Kekhawatiran itu menyurutkan senyum di bibir mungilnya. Ya, kekhawatiran yang dirasakan bersama dengan rasa dingin dari punggung Emak. “Emak!” kini Dani sedikit mengguncangkan bahu ringkih itu hingga kepala wanita separuh baya itu terkulai begitu saja di lengannya. Sejenak, Dani pandangi wajah Emak yang pasih. Tiga detik kemudian ada sesuatu yang ia rasakan, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang belum sempat ia pikirkan.
Wajah tirus Emak pucat pasih dengan seulas senyum dingin mengembang di bibir kering yang jarang tersentuh air. Matanya terpejam rapat, rapat sekali seperti orang tidur. Dani pias. Entah kenapa tiba-tiba tulang-tulangnya seperti dilolos satu persatu. Dani seperti tersadar, ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga. Sesuatu yang pergi bersama dengan sebatang lilin yang meleleh di atas sepotong roti, sesuatu yang pergi bersama nyala lilin yang berkedip-kedip tertiup angin, sesuatu yang pergi diiringi semayup suara iqomah dari surau tua di ujung jalan.....
Sementara si kecil Dina memandangi dua anggota keluarganya bergantian. Kepolosannya menjadi saksi perjuangan Emak mengumpulkan dan memecahkan batu-batu kali demi sepotong roti untuk anak yang beliau kasihi.


loading...

Artikel Terbaru

Recent Posts Widget

Kategori